Kita ambil satu contoh: Tidak jarang kita temui, si A menyampaikan sebuah opini bahwa suatu saham ABC berpotensi untuk turun, namun dengan mudahnya banyak pihak mengklaim bahwa pernyataan si A hanya bermaksud untuk "tebar fear" atau ia sudah "ketinggalan kereta".
Dari sudut pandang si pembuat medium, yakni pemilik sosial media, tentu hal yang menimbulkan konflik ini bisa memberikan nilai plus bagi platform mereka. Hal ini dikarenakan dengan adanya perdebatan antara dua kubu tersebut misalnya, malah bisa menambah retensi orang dalam mengakses sosial media tersebut.
Masalahnya adalah apa yang diperdebatkan tidak dalam upaya untuk mencari sebuah sudut pandang baru, namun lebih ke arah tribalisme. Inilah yang salah satunya terjadi di bursa saham. Ketika si A menyampaikan informasi mengenai saham ABC, apakah kita lebih banyak menilai tentang kualitas informasi yang disampaikan atau malah kita lebih banyak ingin bereaksi mengenai maksud di balik informasi tersebut karena kita juga mempunyai kepentingan di saham tersebut.
Kita tidak pernah tahu pasti masa depan sebuah perusahaan. Analisa teknikal maupun fundamental hanya sebagai dasar strategi. Di bursa saham, kita sebenarnya hanya setor modal saja, masa depan perusahaan bergantung daripada bagaimana management mengelola perusahaan tersebut. Jadi, ketika ada seseorang yang "tebar fear" maupun "pompom", kita harus melatih sikap kita untuk tidak bersikap reaktif terhadap orang tersebut. Tetap bersikap terbuka dan cari informasi yang dianggap penting.
Dalam bursa, kita tidak selamanya harus bersikap sama dalam suatu saham karena perusahaan itu bersifat dinamis. Oleh karena itu, strategi kita juga harus fleksibel. Bisa jadi kita ingin investasi lama di sebuah perusahaan, namun ternyata perusahaan mengalami sebuah masalah di kemudian hari. Dalam hal ini, strategi kita juga harus menyesuaikan. Inilah mengapa, profesional pun juga bisa salah di bursa.
No comments:
Post a Comment
Leave your comment !